bewok

Rabu, 17 Maret 2010

Keberanian & Membuang Perasaan Takut Yang Berlebihan

Mungkin diantara kawan-kawan, ada yang mempunyai perasaan minder atau introvet yang berlebihan, malu bertanya, terlebih tatkala di forum umum yang banyak dihadiri orang dan segala variannya sehingga kadang hal ini dapat menghalangi kita untuk mendapatkan berbagai manfaat ataupun menghambat kemajuan kita, baik itu dalam karir, studi, dan social live kita. Dengan postingan ini berharap bisa membantu membuang perasaan itu semua, minimum mengurangi. Selamat membaca.

Keberanian merupakan keutamaan yang besar dan salah satu sifat kebajikan yang tinggi. Sifat ini adalah salah satu motivator kemauan yang terbesar dan merupakan faktor terbesar diraihnya suatu keinginan.

Orang yang berani itu tidak takut terhadap kejahatan yang sarat dengan penganiayaan, dan ingin mendapatkan kemuliaan yang tinggi. Lantas hal tersebut mendorong dirinya untuk melakukan pembelaan dan tidak merelakan dirinya menjadi sasaran kejahatan.

Suatu umat tidak akan ditakuti dan disegani oleh musuhnya kecuali apabila umat tersebut mempunyai kekuatan lahir dan batin. Kekuatan fisik bisa diperoleh dengan kekuatan hati dan menganggap hina tergelincir dalam perbuatan yang tidak disenangi, dan itulah yang dinamakan keberanian. [1]

Keberanian tidak hanya terbatas maju dalam kancah peperangan, keberanian juga mencakup keberanian dalam mengemukakan pendapat, menjalankan kebenaran dan sejenisnya yang nanti akan dijelaskan disini insyaAllah.

Bukan merupakan syarat bahwa orang yang berani itu harus tidak memiliki rasa takut dalam hatinya terhadap bencana, takut maju, dan yang lainnya. Sebab semua itu adalah perasaan yang dimiliki setiap orang (manusiawi) tatkala ia mau memulai pekerjaan besar atau baru.

Tapi cukuplah seseorang dianggap berani apabila ia tidak terlalu membesar-besarkan rasa takut sehingga menghalanginya untuk maju atau menggiringnya untuk mundur.

Hisyam bin Abdul Malik pernah berkata kepada Maslamah,

Hisyam: “Wahai Abu Sa’id, apakah rasa takut untuk berperang atau menghadapi musuh pernah merasukimu?”.

Maslamah: “Aku tidak pernah selamat dari rasa takut, yang membangkitkan diriku untuk melakukan tipu muslihat dan tidak pernah katakutan dalam peperangan tersebut sampai mencabut akal fikiranku”.

Hisyam: “Inilah keberanian“. [2]

Bahkan orang yang paling berani sekalipun tetap mempunyai perasaan takut ketika terjun dalam kancah peperangan. Tetapi ketakutan tersebut tidak membuat mereka mundur dari peperangan.

Amr bin Ma’di Kariba Az-Zubaidi, -sebagai teladan keberanian-, pernah menggambarkan keadaannya di medan pertempuran. Ia menjelaskan bahwa ketakutan merasuki dirinya, tetapi hal itu tidak membawanya lari dari medan peperangan. Ketakutan tersebut tidak mengurangi keberaniannya dan tidak menurunkan kedudukannya, sebagaimana perkataannya:

Aku himpunkan kakiku pada suatu peperangan

karena takut mati dan aku hendak melarikan diri

Tapi aku berhasil melunakkannya dengan keterpaksaan

ketika jiwaku meraung dari kematian

Semua itu adalah perilaku dariku dan dengan semuanya aku layak mendapat keelokan. [3]

Keberanian dengan demikian membutuhkan keteguhan hati. Keberanian tidak identik dengan ‘tidak punya rasa takut’, sebagaimana perkiraan sementara orang.

Orang yang mengetahui segala akibat yang ditimbulkan dan khawatir hal itu akan terjadi, kemudian ia menghadapi semua itu dengan keteguhan hati, maka ia adalah seorang yang berani.

Seorang panglima yang berdiri di atas garis api, -yang penuh bahaya-, lalu iapun kaget karenanya, -takut datangnya kematian-, kemudian ia menenangkan jiwanya dan melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya, maka ia adalah orang yang pemberani.

Bahkan termasuk pemberani juga apabila ia memandang bahwa sebaik-baik tindakan yang harus diambil ialah menjauhi bahaya, atau manarik mundur tentaranya ke posisi yang tidak berbahaya.

Keberanian tidak bersandar pada maju atau mundur, tidak pula pada perasaan takut atau tidaknya, melainkan bersandar kepada keteguhan hati dan pengambilan tindakan yang sepatutnya pada waktu yang semestinya.

Bahkan bukan merupakan sesuatu yang terpuji apabila manusia terbebas dari segala rasa takut. Adakalnya rasa takut itu adalah keutamaan dan tidak adanya merupakan kehinaan. Takut saat maju menghadapi perkara penting yang berhubungan dengan kemaslahatan umat, atau perlu membuat keputusan yang mantap, adalah keutamaan dan tanda keutamaan. Sebab hal itu mengandung pemikiran dan sikap kehati-hatian sehingga pertimbangan tersebut matang. [4]

Karena itu kaum bijak senantiasa menasehati manusia untuk tidak maju menghadapi perkara-perkara yang berbahaya, kecuali apabila manfaat maju tersebut adalah lebih besar daripada akibat buruknya.

Tapi sikap pengecut dan ketakutan yang tercela adalah orang yang berlebih-lebihan di dalamnya sehingga keluar dari batasnya. Inilah ketakutan para pengecut yang memenangkan aspek keburukannya dan khawatir akan akibat buruknya.

Adapun si pemberani, ia tidak terlalu memikirkan keburukannya. Kemudian apabila hal itu terjadi, maka ia tidak bersedih hati, bahkan sabar dan tabah menghadapinya. Jika ia sakit, maka penyakitnya tidak semakin menambah kesedihannya, dan jika sesuatu yang tidak disukainya menimpanya, maka ia menghadapinya dengan tabah sehingga penderitaannya menjadi ringan.

Ringkasnya, orang yang berani itu bukanlah orang yang dikebiri dari rasa takut terhadap sesuatu yang semestinya ditakuti. Bukan pula si pengecut yang takut pada bayangannya sendiri dan takut terhadap sesuatu yang tidak perlu ditakuti. [4]

Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk menjadi orang yang pemberani. Sebagai tambahan, masih ada beberapa hal yang dapat membantu seseorang meraih keberanian dan membuang sikap berlebih-lebihan dalam membesar-besarkan rasa takut yang insyaaAllah akan dipostingkan pada tulisan selanjutnya. Ameen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar